Wika mencatat penurunan tajam dalam kontrak baru pada kuartal pertama


Perusahaan konstruksi milik negara Wijaya Karya (Wika) telah melihat penurunan angka kontrak baru pada April tahun ini, di tengah pandemi yang sedang berlangsung.

Perusahaan mencatat kontrak baru senilai Rp2,82 triliun (US $ 201,4 juta) dari Januari hingga April, penurunan tajam 73,1 persen tahun-ke-tahun (yoy). Perusahaan memperoleh Rp 10,5 triliun dalam kontrak baru pada periode yang sama tahun lalu, seperti yang dilaporkan oleh Kontan.co.id.

Kinerja perusahaan pada bagian pertama tahun ini akan membuat sulit untuk mencapai target untuk mencatat Rp 65,5 triliun dalam kontrak baru tahun ini, naik 59,7 persen dari 2019, menurut pernyataan pers yang dikeluarkan oleh perusahaan.

"Dengan kontrak baru, Wika memiliki buku pesanan total Rp 80,68 triliun pada tahun 2020. Ini adalah tanggung jawab besar bagi perusahaan kami, dan kami harus memenuhinya dengan strategi yang akurat," kata Sekretaris Perusahaan Wika Mahendra Vijaya setelah rapat pemegang saham di siaran pers pada hari Senin.

Sebagian besar kontrak baru berasal dari perusahaan swasta, diikuti oleh kontrak pemerintah dan perusahaan milik negara.

Total buku pesanan juga menurun, dibandingkan dengan Rp117,69 triliun yang dicatat perusahaan pada kuartal pertama tahun lalu, menurut situs web perusahaan.

Perusahaan juga menikmati laba Rp 26,42 triliun tahun lalu, naik 26,42 persen dari 2018.

Sementara itu, Wika juga menyatakan akan membagikan dividen Rp 457 miliar, setara dengan 20 persen dari laba 2019 perusahaan, kepada para pemegang saham. Nilai dividen dari masing-masing saham akan menjadi Rp 50,95, lebih tinggi dari dividen saham tahun lalu sebesar Rp 38,6 per saham.

Perusahaan juga telah mengumumkan perubahan kepemimpinan, dengan direktur operasional perusahaan Agung Budi Waskito ditunjuk sebagai presiden direktur baru menggantikan Tumiyana.

Rapat pemegang saham juga setuju untuk menunjuk Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian (PUPR) Direktur Sumber Daya Air Jarot Widyoko sebagai presiden komisaris perusahaan, menggantikan Imam Santoso.

Sebelumnya, mengingat kemungkinan pandemi COVID-19 yang berkepanjangan dan dampaknya, perusahaan memberi sinyal kemungkinan mengusulkan relaksasi utang, karena memiliki utang sebesar Rp 6,2 triliun pada tahun ini.

“Kami dapat meminta pemberi pinjaman kami untuk melonggarkan hutang karena dampak yang berkepanjangan dapat mempengaruhi pendapatan operasional kami,” Mahendra sebelumnya mengatakan kepada The Jakarta Post.